Sabtu, 25 Juli 2009

kau ini bagaimana?

kau ini bagaimana?
karya GusMus

Kau ini bagaimana?
Kau bilang aku merdeka, kau memilihkan untukku segalanya
Kau suruh aku berpikir, aku berpikir kau tuduh aku kapir

Aku harus bagaimana?
Kau bilang bergeraklah, aku bergerak kau curigai
Kau bilang jangan banyak tingkah, aku diam saja kau waspadai
Kau ini bagaimana?

Kau suruh aku memegang prinsip, aku memegang prinsip kau tuduh aku kaku
Kau suruh toleran, aku toleran kau bilang aku plin-plan
Aku harus bagaimana?

Aku kau suruh maju, aku mau maju kau srimpung kakiku
Kau suruh aku bekerja, aku bekerja kau ganggu aku
Kau ini bagaimana?

Kau suruh aku takwa, khutbah keagamaanmu membuatku sakit jiwa
Kau suruh aku mengikutimu, langkahmu tak jelas arahanya
Aku harus bagaimana?

Aku kau suruh menghormati hukum, kebijaksanaanmu menyepelekannya
Aku kau suruh berdisiplin, kau menyontohkan yang lain
Kau ini bagaimana?

Kau bilang Tuhan sangat dekat
Kau sendiri memanggil-manggilnya dengan pengeras suara setiap saat
Aku harus bagaimana?

Aku kau suruh membangun, aku membangun kau merusakkannya
Aku kau suruh menabung, aku menabung kau menghabiskannya
Kau ini bagaimana?

Kau suruh aku menggarap sawah, sawahku kau tanami rumah-rumah
Kau bilang aku harus punya rumah, aku punya rumah kau meratakannya dengan tanah
Aku harus bagaimana?

Aku kau larang berjudi, permainan spekulasinya menjadi-jadi
Aku kau suruh bertanggung jawab, kau sendiri terus berucap Wallahu a’lam bissawab
Kau ini bagaimana?

Kau suruh aku jujur, aku jujur kau tipu aku
Kau suruh aku sabar, aku sabar kau injak tengkukku
Aku harus bagaimana?

Aku kau suruh memilihmu sebagai wakilku, sudah kupilih kau bertindak sendiri semaumu
Kau bilang kau selalu memikirkanku, aku sapa saja kau merasa terganggu
Kau ini bagaimana?

Kau bilang bicaralah, aku bicara kau bilang aku ceriwis
Kau bilang jangan banyak bicara, aku bungkam kau tuduh aku apatis
Aku harus bagaimana?

Kau bilang kritiklah, aku kritik kau marah
Kau bilang carikan alternatifnya, aku kasih alternatif kau bilang jangan mendikte saja
Kau ini bagaimana?

Aku bilang terserah kau, kau tak mau
Aku bilang terserah kita, kau tak suka
Aku bilang terserah aku, kau Memakiku

Kau ini bagaimana?
atau…
Aku harus bagaimana?

TATA CARA PERKAWINAN ADAT BONE

TATA CARA PERKAWINAN ADAT BONE
Adapun tahapan dari proses perkawinan adat Bone secara umum dapat dibagi atas tiga tahapan, yaitu tahapan pra nikah, nikah, dan tahapan setelah nikah. Selanjutnya untuk lebih jelasnya pada bagian ini akan dijelaskan tahapan perkawinan secara berturut-turut.
1. Madduta Massuro / Lettu
Banyak tahapan pendahuluan yang harus dilewati sebelum pesta perkawinan (Mappabotting) dilangsungkan. Jika lelaki belum dijodohkan sejak kecil (atau sebelum dia lahir) maka keluatganya akan mulai mencari-cari pasangan yang kira-kira dianggap sesuai untuknya. Bagi kaum bangsawan, garis keturunan perempuan dan laki-laki akan diteliti secara seksama untuk mengetahui apakah status kebangsawanan mereka sesuai atau tidak, jagan sampai tingkatan pelamar lebih rendah dari tingkat perempuan yang akan dilamar.
Madduta artinya meminang secara resmi, dahulu kala dilakukan beberapa kali, sampai ada kata sepakat, namun secara umum proses yang ditempuh sebelum meminang adalah sebagai berikut:

a. mmnumnu Mammanu’-manu
Mammanu’-manu’ bermakna seperti burung yang terbang kesana kemari, untuk menyelidiki apakah ada gadis yang berkenan di hati. Langkah pendahuluan ini biasanya ditugaskan kepada seseorang biasanya kepada para paruh baya perempuan, yang akan melakukan kunjungan biasa kepada keluarga perempuan untuk mencari tahu seluk beluknya, namun biasanya proses ini sangat tersamar. Mappésé-pésé dilakukan setelah kunjungan pertama tadi (Mammanu’-manu’) yaitu melakukan kunjungan resmi pertama untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang secara tidak langsung dan sangat halus (“ada orang yang akan mendekati anda………. Sudah adakah yang berbicara dengan anda?…………sudah adakah yang punya?…………… Apakah pintu masih terbuka?….”) agar kedua belah pihak tidak kehilangan muka atau malu seandainya pendekatan ini tidak membuahkan hasil. Jika keluarga perempuan memberi lampu hijau, kedua pihak kemudian menentukan hari untuk mengajukan lamaran secara resmi (Madduta). Selama proses pelamaran ini berlangsung garis keturunan, status kekerabatan, dan harta calon mempelai diteliti lebih jauh, sambil membicarakan sompa dan uang antaran (Dui ménré) yang harus diberikan oleh pihak laki-laki untuk biaya perkawinan pasangannya, serta hadiah persembahan kepada calon mempelai perempuan dan keluarganya.

b.Mappettu Ada

Mappettu Ada yang baiasanya juga ditindak lanjuti dengan (mappasierekeng) atau menyimpulkan kembali kesepakatan-kesepakatan yang telah dibicarakan bersama pada proses sebelumnya. Ini sudah merupakan lamaran resmi dan biasanya disaksikan oleh keluarga dan kenalan. Pada saat inilah akan dibicarakan secara terbuka segala sesuatu terutama mengenai hal-hal yang prinsipil. Ini sangat penting karena kemudian akan diambil kesepakatan atau mufakat bersama, kemudian dikuatkan kembali keputusan tersebut (mappasierekeng). Pada kesempatan ini diserahkan oleh pihak laki-laki pattenre’ ada atau passio (“pengikat”) berupa cincin, beserta sejumlah benda simbolis lainnya, misalnya tebu, sebagai simbol sesuatu yang manis, buah nangka (Panasa) yang mengibaratkan harapan (minasa); dan lain sebagainya. Apabila waktu perkawinan akan dilaksanakan dalam waktu singkat, maka passio ini diiringi passuro mita yang diserahkan setelah pembicaraan telah disepakati. -
Satu lembar bahan waju tokko - Satu lembar sarung sutera atau lipa’ sabbé, juga disertai dengan; - Satu piring besar nasi ketan (sokko) - Satu mangkok besar palopo’ (air gula merah yang dimasak dengan santan dan diberi telur ayam secukupnya) - Dua sisir pisang raja Biasanya antara pihak perempuan dan laki-laki pada acara mappettu ada ini dilangsungkan dialog. Dialog ini biasanya dimulai oleh pihak perempuan sebagai tuan rumah dan dibalas oleh pihak laki-laki. Salah satu contoh dialog hasil wawancara dengan nara sumber sebagai berikut: Pihak perempuan: AlhamdulillahiRabbil Alamin dan selanjutnya……………… Tomalebbikkeng iyya kialebbirié nennia kitanréréangngi alebbirenna, padamui topapoléi nennia toripoléi. Naiya riolo pappuji nennia bereselleng, ripatarakkai tanrang asyukkurukeng téenrigangkata riséseé arajanna Puang séuwaé, namuka éloullé simatanna namérékki kuaromai ajjapa-jappang, apainringeng, kuwaétopa asagénang, natopada engka situju rupa, sipakario-sipakarennu, siwollompolong, natosiraga-raga, rijiji’ tudang pangngadereng ribola atudangenna tomalebbikkeng …………………silise’ (nama tuan rumah) Kuwaétopa tenriallupai massalawa nennia mappasalama mannennungeng masse lao ri Nabitta Muhammad SAW, Nabi iyya tirowangekki assalamakeng nennia asalewangeng rilino kuwaétopa ri akhérata matti. Insaya Allah. Naimunrinna ritu kupawarei élau addampeng sokkuke lao riolo alebiretta maneng, kupappolo bicara makkéwari mattuppu ade’ pappakaraja, namuka ikkeng mai napawakkangi ménasa paddennuang tomalebbikkeng ……………silise’ (nama tuan rumah) patallengangi majjajareng, tampub Contoh dialog lain yang berupa elong ugi yang dahulu seringkali dilakukan pada masyarakat Bugis dengan dialog saling bersahut yang didahului oleh pihak tuan rumah.
(+) Tomménré laoki tatudang Tejjali tettapéré Banna masé-masé
(-) Masé-éwomémemmi Lolangeng tekkéwiring Sipupupureng lino

(+) Makkutanawa’ segala Agangngaré biri’ta Tapocora lolang

(-) Kupocora-cora lolang Uni ma’tengnga benni Manu parukkuseng
(+) Manuk pékkugi uni Muni malalempenni Paréwe’ sumange
(-) Engkalingai uni’ku Tulingngi ménasa’ku Ri masagalaé

(+) Décéng laleng nakutokkong Décé’topa kujokkang Mattuppu sapana

(-) Kutuppu sapana ta Tudang mabbattampola Mpawa bunga puté
(+) Bunga puté nata’bakka Polesa’ riorennu Lise’ masagala

(-) Engkaka tania suro Polé tania paseng Watang majjajareng

(+) mkutnw sgl Ma’kutanawa sagala Bunga sellé renri’ta Engkaga roppona

(-) Bunga-bunga sellé renring Terropo te’palawa Lappamanengmua
(+) Ambo’ baco indo’ baco Paléngeng pale lima Tanra riorennu

(-) Macinnairo maggalung Galung naranreng sépé Nabiné natakko
(+) Macinna toi méngngala Asé ri tengnga jali Ringgi’ pabbesenna

(-) Mamménasai sagala Ménasa iyamua Sisompung wélareng
(+) Ménasatta tatiwi Kibali rennutoi Ma’tunrung mattakké
(-) Labaco kuéllauwang Tudangeng massibali Pa’dai tengkénné’
(+) Maéloi tapadeppé’Todongi tepparapi Pa’tapping tudangeng
(-) Déga pasa rilipu’ta Balanca rikampo’ta Talinco mabéla

(+) Engka pasa rilipu’ku Balanca rikampo’ku Nyawami kusappa
(-) Re’kua nyawa tasappa Engkani talolongeng Mattunrung matta’ké
(+) Mamménasawa sagala Tatimpakeng laleng Weddingé kuola
(-) Ujung aju pabbéréta Tataroi pasau Namaraja rumpu
(+) Agana ugaukengngi Pakkadang tepparapi Tabu macenning
(-) Ia bua macenningngé Rikadang-kadang mémeng Inappa maddenne’

(+) Bua nonnokiro ce’de’ Nawadding te’kadapi Yassiturusié
(-) Makkutanawak sagala Ala engkamupaga Laleng tenriola

(+) Kéga gangka pattenrettaTenrek dé natattongkang Nasipobiritta

(-) Tau de’ bua’-bua’na de natiwi bua Mattunrung mattakké

(+) Kéga rupa passiota Sio dé natallu’ka Sipobiritta

(-) Sio pasompa katinna Makkalu ritaréné Ripancaji rupa


Keterangan :
Tanda (+) Pihak laki-laki
Tanda (-) Pihak perempuan


Pada saat Mappettu ada akan disepakati beberapa perjanjian, diantaranya: *
Sompa Sompa artinya mas kawin atau mahar sebagai syarat sahnya suatu perkawinan. Besarnya sompa telah ditentukan menurut golongan atau tingkatan derajat gadis. Penggolongan sompa tidaklah selalu sama dalam pengistilahannya. Ada dalam bentuk mata uang “real” dan ada pula dalam bentuk “kati” tetapi dalam buku ini secara umum adalah sebagi berikut:
Bangsawan tinggi 88 real

Bangsawan menengah 44 real
Arung palili 28 real

Golongan tau maradeka 20 real

Golongan ata (budak) 10 real

Pada akhir abad ke-19 besarnya mas kawin (sompa) ditetapkan berdasarkan status seseorang. Setiap satuam mas kawin disebut kati (mata uang kuno) satu kati senilai dengan 66 ringgit, atau sama dengan 88 real, 8 uang (8/20 rial) dan 8 duit (8/12 uang) dan setiap kati akan harus ditambah satu orang budak yang bernilai 40 real dan seekor kerbau yang bernilai 25 real. Sompa bagi kalangan perempuan bangsawan kelas tinggi Sompa bocco’ atau sompa puncak bisa mencapai 14 kati. Sedangkan bagi perempuan bangsawan terendah hanya 1 kati, dan orang baik-baik atau tau deceng setengah kati, dan kalangan baiasa hanya seperempat kati. Sistem perhitungan ini masih berlaku sampai sekarang, tetapi sejak masa kemerdekaan Republik Indonesia, maka mata uang ringgit (dulu senilai 2,5 rupiah atau 2,5 gulden Belanda) yang dihadikan satu perhitungan. Namun karena inflasi dan turunnya harga rupaih pada awal 1960 maka jelas sompa ini tidak berlaku lagi. Namun Sompa ini masih sangat penting artinya, khususnya bagi keluarga yang berstatus tinggi karena hadiahhadiah tambahannya, termasuk di dalamnya hadiah simbolis
(batang tebu,
labu,
buah,
nangka,
anyaman-anyaman,
dan bermacam-macam kue tradisonal).


* Dui ménré / Dui balanca
Dui ménré adalah sejumlah uang yang akan diserahkan oleh pihak laki-laki pasa saat mappettu ada (mappasierekeng). Hal ini biasa dilakukan oleh pihak perempuan untuk mengetahui kerelaan atau kesanggupan berkorban dari pihak laki-laki sebagai perwujudan keinginannya untuk menjadi anggota keluarga. Dui ménré ini akan digunakan oleh pihak perempuan dalam rangka membiayai pesta perkawinannya.

Pada tahun 1975 Susan Millar dalam bukunya Wedding Bugis menunjukkan bahwa besarnya dui ménré berkisar antara Rp. 2.000 sampai dengan Rp. 5000,-. (Pelras. C, 2006) Di kondisi kekinian dimana kekuasaan politik tradisional semakinmemudar dui ménré semakin lama semakin mengalami kenaikan, hal ini disebabkan karena tidak ada lagi aturan dan pihak pihak yang berwenang menegakkan aturan adat.

1. Tanra esso akkalabinéngeng


Kalau semua persayaratan ini telah disepakati, kemudian telah dikuatkan (mappasierekeng) maka pinangan telah resmi diterima. Kemudian akan disepakati lagi hari H perkawinan. Penentuan hari H perkawinan (tanra esso akkalabinéneng) atau penentuan saat akad nikah biasanya disesuaikan dengan penanggalan berdasarkan tanggal dan bulan Islam. Setelah mengetahui hari pelaksanaan akad nikah (ménré botting) dengan sendirinya prosesi adat lainnya seperti mappacci, (tudampenni, wenni mappacci) serta marola sudahj diketahui pula. Upacara mappacci, pada malam tudampenni, atau malam pacar baiasanya dilakukan sehari atau beberapa hari sebelum hari perkawinan. Sedangkan ma’parola dilakukan sehari atau beberapa hari setelah hari perkawinan dilangsungkan.

2. Mappaisseng atau memberi kabar


Setelah kegiatan madduta atau peminangantelah selesai dean menghasilkan kesepakatan, maka kedua pihak keluarga calon mempelai akan menyampaikan kabar mengenai perkawinan ini.biasanya yang diberi tahu adalah keluarga yang sangat dekat, tokoh masyarakat yangdituakan, serta tetangga-tetangga dekat berhubung mereka inilah yang akan mengambil peran terhadap kesuksesan semua rangkaian upacara perkawinan ini.

3. Mattampa / Mappalettu selleng


Kegiatan ini merupakan kelanjutan dari proses sebelumnya yaitu mappaisseng, dan biasanya pihak keluarga calon mempelai akan mengundang seluruh sanak saudara dan handai taulan. Undangan tertulis ini dilaksanakan kira-kira 10 atau 1 minggu sebelum resepsi perkawinan dilangsungkan.
Kegiatan ini disebut juga mappalettu selleng karena diharapkan pihak yang diundang akan merasa dihargai bila para pembawa undangan ini menyampaikan salam dan harapan dari pihak yang mengundang kiranya bersedia datang untuk memberi restu.

4. Mappatettong sarapo/

Baruga
Sarapo atau baruga adalah bangunan tambahan yang didirikan di samping kiri/kanan rumah yang akan ditempati melaksanakan akad nikah. Sedangkan baruga adalah bangunan terpisah dari rumah yang ditempati bakal pengantin dan dindingnya terbuat dari jalinan bambu yang dianyam yang disebut wlsuji “walasuji”. Di dalam sarapo atau baruga dibuatkan pula tempat yang khusus bagi pengantin dan kedua orang tua mempelai yang disebut lmi “lamming”. Tetapi akhir-akhir ini di Kabupaen Bone sudah jarang lagi mendirikan sarapo oleh karena sudah ada beberapa gedung atau tenda yang dipersewakan lengkap dengan peralatannya, namun kadang pula masih ada yang melaksanakan terutama bagi kalangan bangsawan dan orang berada.

5. Mappacci /

Tudampenni
Upacara adat mappacci dilaksanakan pada waktu tudampenni, menjelang acara akad nikah/ijab kabul keesokan harinya. Upacara mappacci adalah salah satu upacara adat Bugis yang dalam pelaksanaannya menggunakan daun pacar (Lawsania alba), atau Pacci. Sebelum kegiatan ini dilaksanakan biasanya dilakukan dulu dengan mappanré temme (khatam Al-Quran) dan barazanji. Daun pacci ini dikaitkan dengan kata paccing yang makananya adalah kebersihan dan kesucian. Dengan demikian pelaksanaan mappacci mengandung makna akan kebersihan raga dan kesucian jiwa.

Sebagaimana yang tertera dalam ungkapan bahasa Bugis yang mengatakan bahwa:
Mappacci iyanaritu gau’ ripakkéonroi nallari ade’, mancaji gau’ mabbiasa, tampu’ sennu-sennuang, ri nia’ akkatta madécéng mammuaréi naiyya nalétéi pammasé Déwata Séuwaé

Adapun urutan dan tata cara mappacci adalah sebagai berikut:
Sebelum acara mappacci dimulai, biasanya dilakukan padduppa (penjemputan) mempelai. Calon mempelai dipersilakan oleh Protokol atau juru bicara keluarga: Patarakkai mai bélo tudangeng Naripatudang siapi siata Taué silélé uttu patudangeng Padattudang mappacci siléo-leo Riwenni tudang mpenni kuaritu Paccingi sia datu bélo tudangeng Ripatajang mai bottinngngé Naripattéru cokkong ri lamming lakko ulaweng Ungkapan ini berarti:
Calon mempelai dipersilakan menuju pelaminan. Pelaminan di sisi para pendamping. Duduk saling berdekatan satu sama lain. Mereka duduk bersuka ria di malam tudampenni, mappacci pada sang raja/ratu mempelai nan rupawan. Tuntunlah dan bimbinglah sang raja/ratu menuju pelaminan yang bertahtakan emas. Dalam pelaksanaan mappacci disiapkan perlengkapan yang kesemuanya mengandung arti makna simbolis seperti:

• Sebuah bantal atau pengalas kepala yang diletakkan di depan calon pengantin, yang memiliki makna penghormatan atau martabat, kemuliaan dalam bahasa Bugis berarti mappakalebbi.
• Sarung sutera 7 lembar yang tersusun di atas bantal yang mengandung arti harga diri.
• Di atas bnatal diletakkan pucuk daun pisang yang melambangkan kehidupan yang berkesinambungan dan lestari.
• Di atas pucuk daun pisang diletakkan pula daun nangka sebanyak 7 atau 9 lembar sebagai permakna ménasa atau harapan.
• Sebuah piring yang berisi wenno yaitu beras yang disangrai hingga mengembang sebagai simbol berkembang dengan baik sesuai dengan arti bahasa Bugisnya (mpenno rialéi).
• Tai bani, patti atau lilin yang bermakna sebagai suluh penerang, juga diartikan sebagai simbol kehidupan lebah yang senantiasa rukun dan tidak saling mengganggu.

• Daun pacar atau pacci sebagai simbol dari kebersihan dan kesucian.

Penggunaan pacci ini menandakan bahwa calon mempelai telah bersih dan suci hatinya untuk menempuh akad nikah keesokan harinya dan kehidupan selanjutnya sebagai sepasang suami istri hingga ajal menjemput. Daunpacar atau pacci yang telah dihaluskan ini disimpan dalam wadah bekkeng sebagai permaknaan dari kesatuan jiwa atau kerukunan dalam kehidupan keluarga dan kehidupan masayarakat.
Pelaksanaan Orang-orang yang diminta untuk meletakkan pacci pada calon mempelai biasanya adalah orang-orang yang mempunyai kedudukan sosial yang baik dan punya kehidupan kehidupan rumah tangga yang bahagia. Semua ini mengandung makna agar calon mempelai kelak di kemudian hari dapat hidup bahagia seperti mereka yang meletakkan pacci di atas tangannya. Jumlah orang yang meletakkan pacci ke tangan calon mempelai adalah biasanya disesuaikan dengan stratifikasi sosial calon mempelai itu sendiri. Untuk golongan bangsawan tertinggi jumlahnya 2 x 9 orang atau dalam istilah Bugis “duakkaséra”. Untuk golongan bangsawan menengah sebanyak 2 x 7 orang atau “duappitu”. Sedangkan untuk golongan di bawahnya bisa 1 x 9 atau 1 x 7 orang. Cara memberi pacci kepada calon mempelai adalah sebagai berikut: Diambil sedikit daun pacci yang telah dihaluskan (telah dibentuk bulat supaya praktis), lalu diletakkan daun dan diusap ke tangan calon mempelai. Pertama ke telapak tangan kanan, kemudian telapak tangan kiri, lalu disertai dengan doa semoga calon mempelai kelak dapat hidup dengan bahagia. Kemudian kepada orang yang telah memberikan pacci diserahkan rokok sebagai penghormatan.

Dahulu disuguhi sirih yang telah dilipat-lipat lengkap dengan segala isinya. Tetapi karena sekarang ini sudah jarang orang yang memakan sirih maka diganti dengan rokok.
Sekali-kali indo’ botting menghamburkan wenno kepada calon memepelai atau mereka yang meletakkan daunpacar tadi dapat pula menghamburkan wenno yang disertai dengan doa. Biasanya upacara mappacci didahului dengan pembacaan Barzanji sebagai pernyataan syukur kepada Allah SWT dan sanjungan kepada Nabiyullah Muhammad SAW atas nikmat Islam. Setelah semua selesai meletakkan pacci ke telapak tangan calon mempelai maka tamu-tamu disuguhi dengan kue-kue tradisional yang diletakkan dalam bosara. Biasanya acara mappacci ini didahului dengan ritual sebagai berikut: Ripasau Sementara dalam kesibukan mempersiapkan pesta pernikahan maka diadakan pula persiapan-persiapan yang tak kalah pentingnya yaitu perawatan pengantin (ripasau/mappasau). Biasanya perawatan ini dilakukan sebelum hari pernikahan (3 hari berturut-turut atau karena keterbatasan waktu hanya dilakukan 1 kali saja pada saat sebelum kegiatan mappacci). Ripasau atau mappsau ini dilakukan pada satu ruangan tertentu yang terlebih dahulu dipersiapkan dengan memasak berbagai macam ramuan yang terdiri dari daun sukun, daun coppéng, daun pandan, rampa para’pulo dan akar-akaran yang harum dalam belanga yang besar.
Mulut belanga ditutup dengan batang pisang yang diberi terowongan bambu sepanjang tangga rumah yang disumbat dengan tutup periuk. Uap yang keluar kemudian akan menghangatkan tubuh sampai membuka pori-pori kulit sehingga mengeluarkan keringat dari seluruh tubuh sehingga tubuh menjadi bersih dan segar.
Namun sebelum kegiatan ini, terlebih dahulu pengantin dipakaikan bedak basah atau lulur yang terdir atas beras yang telah direndam dan telah ditumbuk halus bersama kunyit dan akar-akaran yang harum ditambah dengan rempah-rempah. Ramuan ini kemudian dilulurkan ke seluruh permukaan badan. Dahulu kala ritual ini dilaksanakan selama 40 hari, dewasa ini hanya 3 hari atau 7 hari atau malah hanya 1 kali sebelum acara tudampenni atau mappacci. Cemmé passili’, Mappassili’ Disebut juga cemmé tula’ bala yaitu permohonan kepada Allah SWT agar kiranya dijauhkan dari segala macam bahaya atau bala, yang dapat menimpa khususnya bagi calon mempelai. Prosesi ini dilaksanakan di depan pintu rumah dengan maksud agar kiranya bala atau bencana dari luar tidak masuk ke dalam rumah dan bala yang berasal dari dalam rumah bisa keluar. Tata caranya: Upacara ini biasanya dilaksanakan pasa jam 10.00 (sedang naiknya matahri) dan dilakukan di depan pintu rumah. Calom mempelai perempuan atau laki-laki memakai baju biasa dan sarung yang tidak terlalu lusuh (tua), karena baju ini nantinya akan diserahkan kepada indo’ botting yang melaksanakan cemmé passili’ ini. Calon mempelai duduk di atas kelapa yang masih utuh yang diletakkan di atas sebuah loyang besar, disamping itu diletakkan sebuah ja’jakang yaitu sebuah bakul yang berisi:
• Satu gantang beras

• Pesse pelleng (lilin) 2 buah
• Kelapa yang masih utuh

• Gula merah
• Pala (sepasang)

• Kayu manis
• Sirih segar

• Pinang
beberapa buah
Dalam upacara mappassili’ dilakukan kedua lilin atau pesse pelleng harus dinyalakan. Kemudian disiapkan berbagai macam bahan yang akan digunakan sebagai ramuan dan dicampurkan ke dalam air dalam gentong yang terbuat dari tanah liat. Dari beberapa sumber disebutkan bahwa sumber air yang akan digunakan biasanya berasal dari beberapa sumur bersejarah dan masih dianggap punya kelebihan (keramat) dibanding sumber air biasa. Sumur yang dianggap suci di masyarakat Bone ini ada beberapa diantaranya yaitu: Bubung Manurungé disebut juga bubung Cemma yang terletak di jalan Manurungé (tidak ada lagi)
* Bubung Lassonrongdisebut juga bubung suwabeng terletak di sekitar jalan Lassonrong sekarang jalan Irian. (tidak ada lagi)*
* Bubung Laccokkong yang treletak di sekitar jalan Serigala di lingkungan Laccokkong Kel. Watampone.
Bubung Lagaroang yang terletak di Kelurahan Bukaka.
* Adapun bahan-bahan yang akan digunakan adalah:

• Daun sirih simbol harga diri

• Daun serikaja simbol kekayaan
• Daun waru simbol kesuburan
• Daun tebu simbol kenikmatan

• Daun ta’baliang simbol penangkis bala

• Bunga cabbéru simbol keceriaan
• Daun cangadori simbol penonjolan
• Maja alosi atau mayang pinang

Kedelapan bahan tersebut dimasukkan ke dalam gentong atau loyang terbuat dari tanah liat sebagai simbol lekat atau saling melengket yang telah dialasi dengan semacam tikar yang disebut okkong/appereng sebagai simbol jalinan kebersamaan. Setelah semuanya siap maka dilakukanlah penyiraman pertama yang dilakukan oleh indo’ botting dengan membaca Basmalah kemudian dilanjutkan dengan membaca beberapa doa kiranya Allah SWT senantiasa memberikan berkah –Nya kepada calon mempelai.

Berikut ini lafal doa klasik yang biasa diucapkan oleh indo’ botting:


'' Bismillahi Rahmani Rahim Bismillahi Rahmani Rahim Ulaweng ri Nabi Hélléré. Upaénré ri rpammu. Namaccayya ri rupammu. Ri aolomu Nacculé Nabié ri olomu. Ia maneng padammu ripancaji. Ri Puang Allah Taala makkita. Mappuji maneng Barakka’na Nabi Muhammad Cayyana Nabi Yusufu cayyamu Musiannennungeng bidadari ri Laleng suruga…..dst. Penyiraman dimulai dengan: Kepala 3x kemudian selangkah/bahu kanan 3x. Bahu kiri 3x, punggung dan seluruh badan sebanyak 3x. Sesudah Indo’ botting mempersilahkan kepada pinisepuh/ kleuarga lainnya untuk melakukan hal yang sama. Setelah selesai maka air itu pun dipercikkan ke arah luar pintu rumah dengan maksud agar semua yang tidak baik keluar pula melalui pintu. Sesudah cemme passili’ atau mappassili’ selesai maka calon mempelai baik itu laki-laki maupun perempuan disilakan mandi seperti biasa. Calon mempelai perempuan kemudian memakai: • Waju tokko warna merah jambu
• Lipa’ sabbé warna hijau dan perhiasan sekedarnya. Calon mempelai pria bisa memakai:
• Waju belladada (warna tidak ditentukan)
• Lipa’ sabbé yang serasi

• Songko’ pamiring

Sesudah acara mappassili’ atau cemme passili’ selesai maka calon mempelai perempuan maupun calon mempelai laki-laki didudukkan di lamming untuk mengikuti upacara lainnya. Macceko Macceko berarti mencukur rambur-rambut halus yang ada pada dahi dan di belakang telinga, agar supaya “dadasa” yaitu riasan hitam pada dahi yang akan dipakai pada calon mempelai perempuan pada waktu dirias dapat melekat dengan baik. Bagi puteri bangsawan acara macceko ini merupakan acara tersendiri, mereka menggunakan kostum yang sederhana yang terdiri dari : Waju tokko ukuran panjang dengan warna bakko (merah jambu) Lipa’ sabbé warna hijau Perhiasan sederhana seperti simatayya, bangkara, gelang lola, kalung kote, bunga simboléng, dan pinang goyang. Calon mempelai didudukkan di atas tikar pandan yang bulat dilengkapi dengan alat kebesaran keluarganya yang biasanya terdiri dari: Lellu’ yang dipegang oleh 4, 6, 8 orang tergantung dari stratifikasi sosial mempelai itu sendiri. Disamping itu pula duduk indo’ pasusu sekuarang-kurangnya 2 orang Acara ini dimeriahkan pula dengan iringan gendrang bali sumange. Acara macceko ini hanya diperuntukkan bagi calon mempelai perempuan. Dahulu kala model dadasa ini berbeda antara perempuan yang bangsawan dan perempuan dari kalangan biasa.

B. Akad Nikah /akkalabinengeng

Upacara akad nikah juga memiliki beberapa rangkaian acara yang secara beruntun. Kegiatan yang dimaksud adalah sebagai berikut:
1. Mappénré Botting
Merupakan kegiatan mengantar pengantin laki-laki ke rumah pengantin perempuan untuk melaksanakan akad nikah. Di depan pengantin laki-laki ada beberapa laki-laki tua berpakaian adat dan membawa keris. Kemudian diikuti oleh sepasang remaja yang masing-masing berpakaian pengantin. Lalu diikuti sekelompok bissu yang berpakaian adat pula berjalan sambil menari mengikuti irama gendang. Lalu di belakangnya terdiri dari dua orang laki-laki berpakaian tapong yang membawa gendang dan gong. Kemudian pengantin laki-laki pada barisan beikutnya dengan diapit oleh dua orang passeppi dan satu bali botting. Pakaian passeppi tidak sama warnanya dengan pakaian pengantin.
Untuk lebih jelasnya urutan rombongan dapat diurut sebagai berikut:

1. Pembawa mas kawin atau sompa
2. Pembawa cerek dan alat kebesaran keluarga
3. Paddénréng botting
4. Mempelai laki-laki

5. Balibotting laki-laki

6. Passeppi laki-laki dua orang
7. Pattiwi lellu’
8. Pattiwi teddung

9. Indo’ pasusu
10. Saksi-saksi

Adapun pakaian yang dikenakan oleh rombongan pengiring mempelai laki-laki yaitu:
Untuk kelompok pembawa sompa
Jas biasa
* *
Lipa’ sabbe
* Songkok hitam
* Peralatan: kompu-kompu yang terbuat dari tembaga tau perak yang diisi dengan beras 4 liter (1 gantang), pala, kayu manis kemiri, gula merah, dan mas kawin yang telah disepakati dan dibingkus dengan kain putih kemudian diletakkan dalam sarung yang disebut tope warna putih atau kuning untuk golongan bangsawan. Tope ini digantungkan pada leher pembawa sompa. Untuk kelompok pembawa cerek * Dahulu biasanya tanpa baju, tetapi sekarang dapat diganti dengan baju kaos berlengan
*
Tapong
* Songkok putih
Alat: cere’ amiccung (wadah meludah dari perak), ataotang (tempat sirih)
* Untuk kelompok paddénréng botting
* Jas tutup warna hitam
* Lipa’ sabbé

* Songko’ pamiring
Untuk mempelai laki-laki Ada 3 macam tergantung pada stratifikasi sosial mempelai laki-laki dengan tidak mengabaikan stratifikasi sosial mempelai perempuan.
Kostum biasa yaitu:

Mallipa’ sabbé
Jas biasa
Lipa’ sabbé Songko’ pamiring Keris dengan passapu Mattapong Waju belladada Tapong pakai rantai lipoa Songko’ ni ure’ Keris dengan passapu pakai meili Dapat memakai salempang Passigara Waju belladada dari bahan broket Lipa’ antalassa pakai rantai lipa’ Passio Salempang Sigara lengkap dengan bunga sarampa, pinang goyang, bunga sibali Keris dengan passapu Gelang naga Balibotting Karena merupakan pasangan dari mempelai laki-laki maka seluruh pakaiannya bersama perhiasannya harus sama dengan pakaian yang dikenakan oleh mempelai laki-laki, terutama jika pengantin laki-laki memakai sigara. Biasanya yang menjadi balibotting haruslah saudara sendiri atau keluarga yang mempunyai stratifikasi sosial yang sama. Passeppi Kostum passeppi tidak jauh beda dengan kostum pengantin, hanya nilainya tidak sama. Misalnya, apabila perhiasan pengantin laki-laki terbuat dari emas, maka passeppi terbuat dari perak, dst. Pattiwi lellu’ Jumlahnya 4 orang, 6 orang, 8 orang tergantung pada tingkatan sosial pengantin. Ana’ mattola memakai 8 orang.
Sedangkan bagi orang biasa atau terendah sama sekali tidak memakai lellu’.
Kostum mereka terdiri dari:
Untuk laki-laki:
Kemeja putih
Tapong tanpa rantai Songkok putih Passapu merah atau keris Untuk perempuan: Waju tokko tanpa rantai waju Lipa’ sabbé Hiasan sederhana terdiri dari gelang kecil, bangkara, geno Sibatu dan ikat pingggang. Pattiwi teddung (pembawa payung) Sama dengan pembawa tombak, kecuali passapu diganti dengan songko’ Bone, biasa tanpa pinggiran emas. Indo’ pasusu Pada saat ini lazim terdiri dari 2 orang saja. Kostum mereka terdiri dari waju tokko warna putih memakai sarung Mandar dan hanya memakai giwang dan bros saja. Saksi-saksi Terdiri dari keluarga dekat pengantin laki-laki atau mereka yang dituakan oleh masyarakat. Kostumnya hanya jas biasa, lipa’ sabbé, dan songko’.

2. Madduppa botting
Diartikan menjemput kedatangan pengantin laki-laki. Sebelum penganting laki-laki berangkat ke rumah perempuan, terlebih dahulu rombongan tersebut menunggu penjemput dari pihak perempuan (biasanya dibicarakan lebih dahulu sebagai suatu perjanjian). Bila tempat mempelai perempuan jauh dari lokasi rumah laki-laki maka yang disepakati adalah jam tiba di rumah perempuan. Rombongan penjemput tersebut menyampaikan kepada pihak laki-laki bahwa pihak perempuan telah siap menerima kedatangan pihak laki-laki. Untuk menyambut kedatangan rombongan mempelai laki-laki maka di depan rumah mempelai perempuan telah menunggu beberapa penjemput yaitu:
2 orang padduppa:
1 orang puteri dan
1 orang remaja dengan pakaian lengkap
2 orang pakkusu-usui: perempuan yang sudah menikah
2 orang pallipa’ sabbé: sepasang orang tua setengah baya sebagai wakil orang tua
1 orang prempuan pangampo wenno

1 atau 2 orang padduppa botting
yang biasanya dilakukan oleh saudara dari orang tua mempelai perempuan, mereka ditugaskan menjemput dan menuntun pengantin turun dari kendaraan menuju ke dalam rumah untuk melaksanakan akad nikah.


3. Akad Nikah Orang bersiap melakukan akad nikah adalah bapak atau wali calon mempelai perempuan atau imam kampung atau salah seorang yang ditunjuk oleh Departemen Agama. Dua orang saksi dari kedua belah pihak. Pengantin laki-laki duduk bersila siap melaksanakan akad nikah. Acara akad nikah dimulai dengan pembacaan ayat suci Al-Quran yang dilanjutkan dengan pemeriksaan berkas pernikahan, penandatanganan berkas dan juga sompa. Pihak yang bertandatangan adalah pengantin laki-laki, pengantin perempuan, wali dan 2 orang saksi. Kemudian dilanjutkan dengan penyerahan perwalian dari orang tua atau wali pengantin perempuan kepada imam kampung/penghulu yang akan menikahkan. Orang tua atau wali perempuan mengucapkan, “dengan mengucapkan Bismillahi Rahmani Rahim saya orang tua/wali pengantin perempuan menyerahkan perwalian kepada imam kampung/penghulu untukmenikahkan anak saya dengan lak-laki (disebutkan nama pengantin laki-laki).
Ijab kabul dilakukan dengan didahului oleh khutbah nikah oleh imam kampung atau orang yang ditunjuk oleh undang-undang. Ijab kabul dilakukan dengan pengantin laki-laki berhadapan dengan imam lalu saling berpegangan ibu jari kanan sebelumnya. Pengantin laki-laki dibimbing oleh imam untuk menjawab pertanyaan imam, setelah merasa lancar maka ijab kabulpun dilaksanakan. Beberapa bacaan yang diucapkan oleh imam harus diikuti oleh pengantin laki-laki seperti:istigfar, syahadatain, shalawat, lalu ijab kabul. Ucapan ijab kabul diucapkan oleh imam dengan mengatakan “saudara A bin B saya menikahkan engkau atas perwalian orang tua/wali kepada saya dengan…………..dengan mahar 88 real karena Allah” dan dijawab oleh pengantin laki-laki “saya terima nikahnya…………………dengan mahar 88 real karena Allah”
Proses ijab kabul ini biasanya diulang 2-3 kali untuk memperjelas ketepatan jawaban laki-laki. Setelah itu pengantin laki-laki membaca sighat taklik talak. Selama proses ini mempelai perempuan tetap berada di dalam kamar pengantin yang telah dihiasi lamming dan didampingi oleh:
2 orang passeppi
1 orang balibotting
3 orang pattiwi cere’
2 orang indo’ pasusu

Mereka ini merupakan pendamping yang dahulu kala harus disesuaikan dengan tingkat derajat pengantin, dan disesuaikan dengan jumlah dari pendamping pengantin laki-laki yang dibawa.
Apabila pengantin perempuan merupakan puteri bangsawan, maka selain ia dinaungi lellu’ ia juga dipangku oleh seorang perempuan atau indo’ pasusu sendiri selama akad nikah dilakukan.

4. Mappasiluka Setelah akad nikah selesai maka dilanjutkan dengan acara mappasiluka atau mappasikarawa. Acara ini merupakan kegiatan mempertemukan mempelai laki-laki dengan pasangannya. Pengantin laki-laki diantar oleh seseorang yang dituakan oleh keluarganya menuju kamar pengantin. Kegiatan ini biasa disebut juga dengan mappalettu nikka. Sering terjadi pintu kamar pemgantin perempuan, sehingga untuk masuk dilakukan dulu dialog yang disertai dengan pemberian kenang-kenangan berupa uang dari oarng yang mengantar pengantin laki-laki sebagai pembuka pintu. Setiba di kamar, oleh orang yang mengantar menuntun pengantin laki-laki untuk menyentuh bagian tertentu tubuh pengantin perempuan.

Ada beberapa variasi bagian tubuh yang disentuh, antara lain:


-
Ubun-ubun, bahkan menciumnya agar laki-laki tidak diperintah oleh istrinya.

- -
Bagian atas dada, agar kehidupan keluarga dapat mendatangkan rezeki yang banyak seperti gunung.

- Jabat tangan atau ibu jari, diharapkan nantinya kedua pasangan ini saling mengerti dan saling memaafkan.


- Ada yang memegang telinganya dengan maksud agar istrinya dapat senantiasa mendengar ajakan suaminya.


- Adapula yang langsung mencium aroma harum istrinya seperti tradisi yang dilakukan di Arab Saudi.

Setelah uapacara ini pengantin laki-laki duduk di sisi istrinya untuk mengikuti kegiatan malloangeng. Orang tua atau orang yang telah ahli dalam hal ini ditunjuk melilitkan kain/sarung sehingga kedua pengantin berada dalam satu sarung, kemudian kedua pinggirnya dikaitkan dan dijahit tiga kali dengan benang emas atau benang biasa yang tidak ada pinggirnya. Kegiatan ini memiliki makna agar nantinya pasangan ini senantiasa bersatu padu dalam menempuh kehidupan rumah tangganya di kemudian hari.

5. Maréllau Dampeng


Setelah prosesi mappasiluka maka dilanjutkan dengan acara memohon maaf kepada kedua orang tua pengantin perempuan dan seluruh keluarga dekat yang sempat hadir pada akad nikah tersebut. Selesai memohon maaf lalu kedua pengantin diantar menuju pelaiminan untuk bersanding guna menerima ucapan selamat dan doa restu dari segenap tamu dan keluarga yang hadir, biasanya acara ini dilanjutkan dengan resepsi di malam hari.


C. Upacara Sesudah Akad Nikah


1. Mapparola Acara ini merupakan juga prosesi penting dalam rangkaian perkawinan adat Bone, yaitu kunjungan balasan dari pihak perempuan kepada pihak lak-laki. Jadi merupakan sebuah kekurangan, apabila seorang mempelai perempuan tidak diantar ke rumah orang tua mempelai laki-laki. Kegiatan ini biasanya dilaksanakan sehari atau beberapa hari setelah upacara akad nikah dilaksanakan. Kegiatan biasanya tidak dilakukan jika pernikahan tidak mendapat restu dari orang tua pihak laki-laki. Pada hari yang disepakati untuk proses mapparola/marola (mammatoa) kedua belah pihak kemudian mengundang kembali keluarga dan kaum kerabat untuk hadir dan meramaikan upacara mapparola. Keluarga pihak perempuan mengundang beberapa keluarga untuk turut mengantar kedua mempelai ke rumah orang tua pihak laki-laki. Sedangkan pihak laki-laki mengundang beberapa keluarga dan kerabat untuk menyambut kedatangan pihak perempuan. Kedua mempelai kembali dirias seperti pada waktu akad nikah, lengkap pula dengan semua pengringnya, seperti balibotting, passeppi, pembawa cerek, pembawa tombak, pembawa payung, pembawalellu’, indo’ pasusu. Apabila kedua mempelai beserta rombongan tiba di hadapan rumah orang tua laki-laki maka disambut dengan wanita berpakaian waju tokko hitam dengan menghamburkan wenno, sebagai pakkuru sumange’ (ucapan selamat datang). Dalam acara mapparola ini biasanya dilakukan juga makkasiwiang yaitu mempelai perempuan membawakan sarung untuk mertua/orang tua laki-laki beserta saudar-saudaranya. Hal ini dilakukan di kamar pengantin laki-laki. Pengantin perempuan diantar oleh indo’ botting untuk memberikan sarung sutera kepada orang tua dan saudara pengantin laki-laki. Di daerah Bugis biasanya pemberian ini akan dikembalikan lagi dengan ditambahkan pemberian dari mempelai laki-laki sesuai dengan kemampuan.

2. Marola wekka dua Pada marola wekka dua ini, mempelai perempuan biasanya hanya bermalam satu malam saja dan sebelum matahari terbit kedua mempelai kembali ke rumah mempelai perempuan.

3. Ziarah kubur Meskipun banyak pihak mengatakan bahwa ziarah kubur bukanlah merupakan rangaian dalam upacara perkawinan adat Bone namun sampai saat ini kegiatan tersebut masih sangat sering dilakukan karena merupakan tradisi atau adat kebiasaan bagi masyarakat Bone, yaitu lima harai atau seminggu setelah kedua belah pihak melaksanakan upacara perkawinan.

4. Cemmé-cemmé atau mandi-mandi Sudah menjadi tradisi bagi masyarakat Bone bahwa setelah upacara perkawinan yang banyak menguras tenaga dan pemikiran maka rombongan dari kedua belah pihak pergi mandi-mandi di suatu tempat.

PERKAWINAN ADAT BONE/BUGIS bagian d

Sistem Kekerabatan

Pada umunya orang Bugis mempunyai sitem kekerabatan yang disebut dengan assiajingeng yang mengikuti sistem builateral. Yaitu sistem yang mengikuti lingkungan pergaulan hidup dari ayah maupun dari pihak ibu. Garis keturunan berdasarkan kedua orang tua. Hubungan kekerabatan ini menjadi sangat luas disebabkan karena, selain ia menjadi anggota keluarga ibu, ia juga menjadi anggota keluarga dari pihak ayah. Hubungan kekerabatan atau assiajingeng ini dibagi atas siajing maréppé (kerabat dekat) dan siajing mabéla (kerabat jauh). Kerabat dekat atau siajing maréppé merupakan kelompok penentu dan penmgendali martabat keluarga. Anggota keluarga dekat inilah yang menjadi to masiri’ (orang yang malu) bila anggota keluarga perempuan ri lariang (dibawa lari oleh orang lain), dan mereka itulah yang berkewajiban menghapus siri’ tersebut. Anggota siajing maréppé didasarkan atas dua jalur, yaitu réppé maréppé yaitu keanggotaan yang didasarkan atas hubungan darah, dan siteppang maréppé (sompung lolo) yaitu keanggotaan didasarkan tas hubungan perkawinan. (Makkulau, 2006) Adapun anggota keluarga yang tergolong réppé maréppé yaitu:
1. Iyya, Saya (yang bersangkutan)
2. Indo’ (ibu kandung iyya)

3. Ambo’ (ayah kandung iyya)

4. Nene’ (nenek kandung Iyya baik dari pihak ibu maupun dari ayah
5. Lato’ (kakek kandung Iyya baik dari ibu maupun dari ayah)
6. Silisureng makkunrai (saudara kandung perempuan Iyya )

7. Silisureng woroané (saudara laki-laki iyya)
8. Ana’ (anak kandung iyya)

9. Anauré (keponakan kandung iyya)
10. Amauré (paman kandung iyya)
11. Eppo (cucu kandung iyya)

12. Inauré / amauré makkunrai (bibi kandung iyya)

Sedangkan anggota keluarga yang termasuk siteppang maréppé yaitu :
1. Baine atau indo’ ‘ana’na (istri iyya)

2. Matua (ibu ayah/ kandung istri)

3. Ipa woroané (saudara laki-laki istri iyya)
4. Ipa makkunrai (saudara kandung perempuan istri iyya)
5. Manéttu (menantu, istri atau suami dari anak kandung iyya)

F. Stratifikasi Sosial Lapisan sosial tradisional masyarakat Bone membedakan status menurut kadar ke arung annya (keturunan). Ukuran yang digunakan adalah soal asal keyrunan sebagai unsur primer. Oleh karena itu perlu dibedakan dahulu jenis-jenis keturunan yang teradapat di Kabupeten Bone secara umum dibagi atas beberapa golongan, yaitu:

1. Ana’ mattola: yang berhak mewarisi tahta dan dipersiapkan untuk menjadi raja arung (raja/ratu). Tingkatan ini terbagi atas dua sub golongan yakni: ana’ sengngeng dan ana’rajéng.
2. Ana’ céra’ siseng/I: anak yang beradarah campuran atas kedua sub di atas yang kawin dengan perempuan biasa.
3. Ana’ céra’ dua/II: anak hasil perkawinan céra’ siseng dengan perempuan biasa.

4. Ana’ céra’ tellu/III: anak hasil perkawinan céra’ dua dengan perempuan biasa. Ketiga lapisan cerak ini menduduki golongan bangsawan menengah.
Kemudian céra’ tellu ini dengan perempuan biasa akan menghasilkan bangsawan terendah. Ampo cinaga, anakkarung maddara-dara, dan anang.

5. Tau sama (orang biasa)/tau maradéka (orang bebas): di kalangan ini masih dibedakan atas keturunan leluhirnya yang masih terhitung bangsawan, betapapun rendahnya lapisan dan berapa jauhpun pertautannya (tau tongeng karaja) dan yang benar-benar keturunan orang biasa (tau sama mattanété lampé).

6. Ata (hamba sahaya): golongan yang hilang kemerdekaannya karena sesuatu ikatan langsung. Meskipun penggolongan keturunan tersebut hanya bertahan sampai pada masa kemerdekaan, namun penggolongan keturunan tersebut sekarang ini tidak lagi dianut secara ketat, namun dalam berbagai hal, utamanya dalam kehidupan sosial kadangkala masih dipertanyakan, misalnya dalam hal meminang gadis, maka yang dipertanyakan adalah keturunan.

PERKAWINAN ADAT BONE/BUGIS bagian c

C. Pandangan Masyarakat Bugis Terhadap Perkawinan

Perkawinan merupakan sesuatu yang sangat penting dalam kehidupan manusia karena perkawinan bukan hanya merupakan peristiwa yang harus ditempuh atau dijalani oleh dua individu yang berlainan jenis kelamin, tetapi lebih jauh adalah perkawinan sesungguhnya proses yang melibatkan beban dan tanggung jawab dari banyak orang, baik itu tanggung jawab keluarga, kaum kerabat (sompung lolo) bahkan kesaksian dari seluruh masyarakat yang ada di lingkungannya. (Pelras.C,2006)
Dipandang dari sisi kebudayaan, maka perkawinan merupakan tatanan kehidupan yang mengatur kelakuan manusia.

Selain itu perkawinan juga mengatur hak dan kewajiban serta perlindungannya terhadap hasil-hasil perkawinan yaitu anak-anak, kebutuhan seks (biologis), rasa aman (psikologis), serta kebutuhan sosial ekonomi, dan lai-lain.
Namun pada masyarakat Bugis, perkawinan bukan saja merupakan pertautan dua insan laki-laki dan perempuan, namun merupakan juga pertautan antara dua keluarga besar. Ini disebabkan karena orang tua dan kerabat memegang peranan sebagai penentu dan pelaksana dalam perkawinan anak-anaknya. Sebagaimana digambarkan oleh H. TH. Chabot dalam bukunya “Verwanschap, stand en sexe in zuid celebes” yang berbunyi “Pilihan pasangan hidup, bukanlah urusan pribadi namun adalah urusan keluarga dan kerabat”. Dengan fungsi ini maka perkawinan haruslah diselenggarakan secara normatif menurut agama dan adat yang berlaku dalam masyarakat setempat dan harus diselenggarakan secara sungguh-sungguh dalam suatu upacara perkawinan. (Sapada AN, 1985) D. Makna Perkawinan Perspektif Gender Dalam masyarakat Bugis termasuk Bone sebagaimana masyarakat lain di bagian dunia lainnya, lelaki dan perempuan mempunyai wilayah aktifitas yang berbeda. Namun pada hakikatnya orang Bugis tidak menganggap perempuan lebih dominan satu sama lain. Hubungan mereka saling melengkapi sebagai manifestasi dari perbedaan yang mereka miliki. Perbedaan ini diharapkan dapat saling melengkapi dan bersatu dalam satu ikatan perkawinan.

Pada awal perkawinan biasanya laki-laki tinggal di rumah orang tua istri (mertua) sehingga tidak memberikan ruang bagi suami untuk bertindak semena-mena atau mendominasi sang istri. Sementara ruang di rumah pada hakikatnya telah dibagi berdasarkan gender. Bagian depan menjadi bagian laki-laki dan bafgain belakang menjadi wilayah perempuan. Menurut pepatah Bugis wilayah perempuan adalah sekitar rumah, sedangkan ruang gerak laki-laki adalah “menjulang hingga ke langit” kata bijak tersebut menjelaskan peran laki-laki dan perenpuan dalam kehidupan sehari-hari. Aktiftas laki-laki adalah di luar rumah. Dialah tulang punggung penghasilan keluarga yang bertugas mencari nafkah (sappa laleng atuong). Sementara perempuan sebagai ibu (indo’ ana’) kewajibannya menjaga anak, menjmbuk padi, memasak, menyediakan lauk pauk dan membelanjakan penghasilan suami selaku pengurus yang bijaksana (pattaro malampé nawa-nawa é). Namun perbedaan tugas di atas bukan menjadi hal yang pokok melainkan saling melengkapi perbedaan itulah yang mendasari kemitraan diantara suami istri dalam saling menopang kepentingan mereka masing-masing (sibali perri) dan saling merepotkan (siporépo). (Pelras C. 2006)


Tata Cara Perkawinan Adat Bone/bugis PERKAWINAN ADAT BONE/BUGIS

B. Pandangan Islam Terhadap Perkawinan

Salah satu ajaran yang penting dalam Islam adalah perkawinan atau pernikahan. Begitu pentingnya ajaran tentang perkawinan tersebut sehingga dalam Al-Quran terdapat sejumlah ayat baik secara langsung maupun tidak langsung berbicara mengenai perkawinan.
Nikah artinya menghimpun atau mengumpulkan. Salah satu upaya untuk menyalurkan naluri seksual suami istri dalam rumah tangga sekaligus sarana untuk menghasilkan keturunan yang dapat menjamin kelangsungan eksistensi manusia di atas bumi. Keberadaan mikah itu sejalan dengan lahirnya manusia di atas bumi dan merupakan fitrah manusia yang diberikan Allah SWT terhadap hamba-Nya. Ada beberapa definisi nikah yang dikemukakan ulama fiqih, tetapi seluruh definisi tersebut mengandung esensi yang sama meskipun redaksionalnya berbeda. Ulama Mazhab Syafi’I mendefinisikannya dengan “akad yang mengandung kebolehan melakukan hubungan suami istri dengan lafal nikah/kawin atau yang semakna dengan itu”.
Sedangkan ulama Mazhab Hanafi mendefiniskannya dengan akad yang memfaedahkan halalnya melakukan hubungan suami istri antara seorang lelaki dan seorang perempuan selama tidak ada halangan syara’.
Imam Muhammad Abu Zahrah (w. 1394 H/1974 M), ahli hukum Islam dari Universitas Al-Azhar, berpendapat bahwaperbedaan kedua definisi di atas tidaklah bersifat prinsipil. Yang menjadi prinsip dalam definisi tersebut adalah nikah itu membuat seorang lelaki dan seorang wanita halal melakukan hubungan seksual.

Untuk mengkompromikan kedua definisi, Abu Zahrah mengemukakan definisi nikah, yaitu :akad yang menjadikan halalnya hubungan seksual antara seorang lelaki dan seorang wanita, saling tolong menolong diantara keduanya serta menimbulkan hak dan kewajiban diantara keduanya”. Hak dan kewajiban yang dimaksud Abu Zahrah adalah hak dan kewajiban yang datangnya dari asy-Syar’I Allah SWT dan Rasul-Nya. Tujuan pernikahan sebagaimana disebutkan dalam salah satu ayat dalam Al-Quran adalah (artinya)
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antara kmau rasa kasih sayang …” (Q.S.30:21).
Berdasarkan ayat di atas jelas bahwa Islam menginginkan pasangan suami istri yang telah membina suatu rumah tangga melalui akad nikah tersebut bersifat langgeng. Terjalin keharmonisan di antara suami istri yang saling mengasihi dan menyayangi itu sehingga masing-masing pihak merasa damai dalam rumah tangganya.


Rumah tangga seperti inilah yang diinginkan Islam, yakni rumah tangga sakinah, sebagaimana yang disyaratkan Allah SWT dalam surat Ar-Rum (30) ayat 21 di atas. ada tiga kata kunci yang disampaikan oleh Allah SWT dalam ayat tersebut, dikaitkan dengan rumah tangga yang ideal menurut Islam, yaitu sakinah (as-sakinah), mawadah (al-mawaddah), dan rahmat (ar-rahmah). Ulama tafsir menyatakan bahwa as-sakinah adalah suasana yang damai yang melingkupi rumah tangga yang bersangkutan; masing-masing pihak menjalankan perintah Allah SWT dengan tekun, saling menghormati, dan saling toleransi.
Dari suasana as-sakinah tersebut akan muncul rasa saling mengasihi dan menyayangi (al-mawaddah), sehingga rasa tanggung jawab kedua belah pihak semakin tinggi. Selanjutnya, para musafir mengatakan bahwa dari as-sakinah dan al-mawaddah inilah nanti muncul ar-rahmah, yaitu keturunan yang sehat dan penuh berkat dari Allah SWT, sekaligus sebagai pencurahan rasa cinta dan kasih.

Tata Cara Perkawinan Adat Bone/bugis PERKAWINAN ADAT BONE/BUGIS

Tata Cara Perkawinan Adat Bone/bugis

PERKAWINAN ADAT BONE/BUGIS

A. Pendahuluan

Masyarakat kabupaten Bone, sebagaimana masyarakat kabupaten lainnya di Propinsi Sulawesi Selatan pada umumnya, merupakan pemeluk Islam yang taat, kehidupan mereka selalu diwarnai oleh keadaan yang serba religius. Kondisi ini ditunjukkan oleh banyaknya tempat-tempat ibadah dan Pendidikan Agama Islam.
Sekalipun penduduk Kabupaten Bone mayoritas memeluk agama Islam, namun di kota Watampone juga ada gereja dan beberapa tempat ibadah pemeluk agama lainnya.

Hal ini berarti, pemeluk agama lain cukup leluasa untuk menunaikan ibadahnya. Keadaan ini memberikan dampak yang positif terhadap kehidupan keagamaan, karena mereka saling hormat-menghormati dan menghargai satu dengan yang lainnya. Di samping itu, peran pemuka agama terutama para alim ulama sangat dominan dalam kehidupan keagamaan, bahkan bagi masyarakat Bone, alim ulama merupakan figur kharismatik yang menjadi panutan masyarakat.


Pada sektor pendidikan,pemerintah Kabupeten Bone mengarahkan pembangunan pada upaya peningkatan mutu pendidikan, sehingga tercipta peningkatan relevansi pendidikan, serta mempunyai keterkaitan yang sesuai dengan kebutuhan tuntutan. Oleh karena itu, mutu pendidikan selalu ditingkatkan sebagai upaya peningkatan sumber daya manusia agar menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi yang bermuara kepada meningkatnya daya saing masyarakat Bone. Adapun mengenai pengembangan kebudayaan, pemerintah Kabupaten Bone berupaya untuk membina nilai-nilai budaya daerah sebagai bagian dari budaya nasional denganberdasarkan pada penerapan nilai-nilai luhur dan kearifan lokal masyarakat Bone.

Salah satu bentuk kepedulian pemerintah Kabupaten Bone dalam bidang kebudayaan adalah memfasilitasi terbentuknya Lembaga Adat “Saoraja” Bone sebagai mitra pemerintah dalam hal pelestarian nilai-nilai adat dan budaya luhur serta pengembangan kebudayaan.
Dalam masyarakat manapun, hubungan kekerabatan merupakan aspek utama, baik karena dinilai penting oleh anggotanya maupun fungsinya sebagai struktur dasar yang akan suatu tatanan masyarakat. Pengetahuan mebdalam tentang prinsip-prinsip kekerabatan sangat diperlukan guna memahami apa yang mendasari berbagai aspek kehidupan masyarakat yang dianggap paling penting oleh orang Bugis dan yang saling berkaitan dalam membentuk tatanan sosial mereka. Aspek tersebut antara lain adalah perkawinan. Bagi masyarakat Bugis termasuk di dalamnya Bone, perkawinan berarti siala atau saling mengambil satu sama lain, jadi perkawianan merupakan ikatan timbla balik. Walaupun mereka beeasal dari strata sosial yang berbeda, setelah mereka menjadi suami istri mereka merupakan mitra. Selain itu, bagi masyarakat Bugis, perkawinan bukan saja penyatuan dua mempelai semata, akan tetapi merupakan suatu upacara penyatuan dan persekutuan dua keluarga besar yang biasanya telah memiliki hubngan sebelumnya dengan maksud mendekatkan atau mempereratnya (Mappasideppé mabélaé atau mendekatkan yang sudah jauh).

Pemaknaan lain tentang perkawinan, pada buku Sulésana karya Anwar Ibrahim disinggung tentang siabbinéng dari kata biné yang berarti benih padi, “Mabbiné” artinya menanam padi. Terdapat kedekatan makna dan kedekatan bunyi dengan kata “bainé” atau istri “mabbainé” atau beristri. Dalam konteks ini kata siabbinéng, mengandung makna menanam benih dalam kehidupan rumah tangga. (Ibrahim. A, 2002)
Dikalangan masyarakat biasa, perkawinan biasanya berlangsung antar keluarga dekat atau antar kelompok patronasi yang sama (patron klien) sehingga mereka telah saling mengenal satu sama lain. Oleh karena itu, mereka yang berasal dari daerah lain, cenderung menjalin hubungan yang lebih dekat lagi dengan orang telah mereka kenal baik melalui jalur perkawinan. Dengan kata lain perkawinan adalah cara terbaik untuk menjadi (bukan orang lain/ tenniya tau laing).

Hal ini juga sering ditempuh dua sahabat atau mitra usaha yang bersepakat menikahkan turunan mereka, atau bahkan menjodohkan anak mereka sejak kecil. (Pelras . 2006)
Dikalangan masayarakat dikenal ada dua macam perkawinan yaitu perkawinan melalui proses peminangan dan perkawinan yang disebut silariang. Namun yang akan dibahas dalam buku ini adalah perkawinan melalui peminangan. Perkawinan melalui proses peminangan adalah tata cara yang paling baik dan biasanya melalui beberapa tahap. Sejak dahulu sampai kira0kira 30 tahun lalu, tahap demi tahap masih selalu dilakukan, baik oleh golongan bangsawan maupun yang bukan bangsawan. Namun akibat dari perkembangan jaman serta pengaruh-pengaruh asing yang masuk maka terjadi beberapa perubahan, namun kartena masyarakat kita sangat kuat dalam memegang teguh adat, maka kebiasaan ini masih terus berlanjut walaupun disana sini telah disesuaikan dengan keadaan dan waktu. Dan pelaksanaannya pun telah mengalami beberapa perubahan tanpa meninggalkan nilai-nilai dan makna yang terkandung dalam semua tahapan upacara. (Sapada AN, 1985)

Remaja di Panggung Teater

Remaja di Panggung Teater

AKHIRNYA, Suminta memilih pergi meninggalkan Mini istrinya. Lelaki itu merasa telah disakiti oleh apa yang diperbuat istrinya, tak tahan oleh kemiskinan, dan Mini telah tidur dengan lelaki lain demi uang. Suminta merasa terhina dan ia memutuskan pergi, mereka harus berpisah. Tapi, bukan dengan kemarahan dan kebencian Suminta pergi, melainkan dengan kesedihan karena bagaimanapun ia masih mencintai Mini. Mereka berpisah dengan langkah Suminta meninggalkan rumah menyembunyikan air matanya, membawa tas pakaiannya. Meninggalkan suara Mini yang terjatuh mencegah kepergian Suminta, meratap menyeru, "Kakaaaaaak....!"

Demikianlah selalu adegan akhir dari lakon "Sayang Ada Orang Lain" karya Utuy Tatang Sontani yang dimainkan 7 kelompok teater dalam ajang Festival Teater Remaja se-Jawa Barat di GK Sunan Ambu STSI Bandung, sejak 28 Juli-2 Agustus 2008. Satu adegan yang selalu berurai air mata. Peristiwa perpisahan Suminta dan Mini, di situ senantiasa hadir dalam pelukisan suasana yang melodramatik mirip suasana dalam banyak sinetron di televisi dan melulu sebagai perpisahan itu sendiri, ketimbang mengelebatkan kesadaran ihwal mengapa Suminta memilih pergi dan hubungangannya dengan hadirnya orang lain (Wak Haji, Hamid, dan Lelaki Bermata Srigala) bersama seluruh kebenaran yang mereka jejalkan.

Tampaknya, apa yang menjadi tekanan Utuy lewat naskah lakonnya yakni kegelisahan dan kesadaran tentang manusia sebagai makhluk individu, tidaklah menjadi sesuatu yang penting. Yang melulu tertangkap adalah narasi tentang seorang istri yang menjual dirinya demi menolong rumah tangganya dari kemiskinan dan diketahui oleh suaminya yang lantas memilih pergi.

Puncak dari tragedi rumah-tangga itu adalah perpisahan yang penuh dengan isak tangis dan dibuat sedramatis mungkin. Dari mulai Suminta yang pergi dan Mini yang memanggil dalam tangis mengharukan, menghentikan langkah Suminta dalam pause sedang tangan Mini sedang menggapainya, hingga yang melengkapinya dengan lagu Darso, "Ulah Ceurik".

Tapi, tak apa. Justru inilah satu dari banyak hal menarik yang diperlihatkan 14 kelompok teater dari sejumlah SMA/sederajat mengikuti festival langka ini. Menarik dalam pengertian konteks hubungan antara panggung teater dan "kepolosan" anak-anak muda belasan tahun, namun yang seraya itu diam-diam juga menjanjikan semacam spirit bagi perkembangan teater modern Indonesia ke depan, paling tidak di Bandung.

Festival ini diadakan Keluarga Mahasiswa Teater STSI Bandung. Satu festival yang menjadi penting, di tengah kelangkaan para remaja termediasikan keberadaannya di panggung teater dalam satu peristiwa bernama festival, setelah selama ini banyak penggiat teater di Bandung, termasuk institusi pendidikan, melulu hanya menggerutu melihat kegandrungan anak-anak muda itu pada seni-seni industri dalam budaya massa yang memuja popularitas dan menjadi idola.

**

MESKI festival yang diikuti kelompok-kelompok teater dari Garut, Tasikmalaya, Ciamis, Subang, Cirebon, Cimahi, Baleendah, dan Bandung ini telah memilih Teater Citra SMAN 3 Subang sebagai Pertunjukan Terbaik, namun tampaknya bukan itu benar dan terpenting, termasuk terpilihnya aktor, aktris, sutradara, penata musik, serta artistik terbaik. Melainkan bagaimana festival ini mengusung semacam indikasi yang mungkin bisa menjadi awal pembacaan terhadap fenomena perkembangan teater berikutnya.

Festival ini menyediakan lima naskah lakon sebagai pilihan, "Sayang Ada Orang Lain" (Utuy Tatang Sontani), "Ben Go Tun" (Saini K.M.), "Kisah Cinta dan Lain-lain" (Arifien C. Noer), Malam Jahanam ("Motinggo Busye), "Wanita yang Diselamatkan" (Athur S. Nalan). Kelima naskah ini sangatlah sulit menyebutnya sebagai naskah remaja. Paling tidak dibanding "Graffito" karya Akhudiat, misalnya, kelima naskah dalam festival ini secara tematik sangatlah berjarak dengan alam anak remaja. Bahkan mungkin terbilang "berat", sebutlah, "Sayang Ada Orang Lain" yang menyimpan konflik dan ketegangan-ketegangan manusia di ruang kesadaran individualnya, ketimbang menekan pada konflik rumah tangga dan kisah cinta Suminta dan Mini.

Tapi, justru naskah inilah yang paling banyak dipilih. Ada tujuh kelompok teater yang memainkannya dan nyaris seluruhnya menekan pada style pertunjukan yang sama, yakni melodrama yang penuh air mata. Pilihan pada lakon ini bersebab pada konflik yang dibayangkan, romantisme kemiskinan, cinta yang dikhianati, dan perpisahan. Konflik yang mirip-mirip cerita sinetron. Agaknya inilah yang menjadi alasan mengapa naskah Utuy itu banyak dipilih ketimbang "Kisah Cinta dan Lain-lain" yang lebih jelas konflik dan esensinya.

Di lain sisi, festival ini juga memperlihatkan bagaimana secara kualitas kelompok-kelompok teater dari berbagai daerah terasa lebih baik penyajiannya. Baik secara pertunjukan, penyutradaraan, hingga skill para aktornya. Tak hanya itu, antusiasme para remaja dari berbagai daerah pun, terasa sangat berbeda dengan remaja tuan rumah meski mereka mengerahkan penonton sebagai supporter.

Apa yang diperlihatkan oleh kelompok-kelompok teater daerah dalam festival ini, mengapungkan sejumlah pemikiran ihwal fenomena perkembangan teater di berbagai daerah, yang tampaknya lebih semarak seperti juga terasa dalam Festival Drama Basa Sunda yang setiap dua tahun sekali diselenggarakan Teater Sunda Kiwari. Fenomena ini seolah tengah menguji "kebenaran" dari asumsi bahwa teater adalah kesenian kota.

Sepanjang festival, banyak kejutan tak terduga yang diperlihatkan para remaja di panggung teater. Termasuk bagaimana penyiasatan yang mereka lakukan ketika kelompok teater mereka mengalami krisis "jenis kelamin". Dengan "berani" misalnya, mereka mengubah tokoh lelaki dalam naskah menjadi perempuan. Tokoh Hamid dalam "Sayang Ada Orang Lain" tiba-tiba saja jadi perempuan yang bernama Hamidah. Begitu juga tokoh Tuan dan Otong dalam "Kisah Cinta dan Lain-lain" yang dimainkan perempuan. Belum lagi kejadian-kejadian tak terduga di atas panggung, yang mengundang senyum dan tawa penonton.

Namun demikian, festival ini bukan tidak menjanjikan sejumlah potensi yang bisa diharapkan pada masa mendatang terutama dalam keaktoran, meski tentu saja terlalu pagi untuk melihatnya dari parameter yang terlalu jauh. Seandainya festival ini menyediakan naskah-naskah lakon yang memang secara tematik remaja, atau dekat dengan dunia mereka, bukan tidak mungkin para remaja itu akan lebih leluasa mengeksplorasi potensinya di panggung teater.

Festival ini pada akhirnya seolah hendak menjadi satu tradisi. Dan memang begitulah semestinya. Apalagi festival ini diselenggarakan di salah satu instusi seni seperti Jurusan Teater STSI Bandung. Apa dan bagaimanapun, kelanjutan festival ini bukan hanya menjadi tanggung jawab Keluarga Mahasiswa Teater, tetapi lebih dari itu, menjadi kewajiban dari Jurusan Teater STSI. (Ahda Imran) ***