Sabtu, 25 Juli 2009

Remaja di Panggung Teater

Remaja di Panggung Teater

AKHIRNYA, Suminta memilih pergi meninggalkan Mini istrinya. Lelaki itu merasa telah disakiti oleh apa yang diperbuat istrinya, tak tahan oleh kemiskinan, dan Mini telah tidur dengan lelaki lain demi uang. Suminta merasa terhina dan ia memutuskan pergi, mereka harus berpisah. Tapi, bukan dengan kemarahan dan kebencian Suminta pergi, melainkan dengan kesedihan karena bagaimanapun ia masih mencintai Mini. Mereka berpisah dengan langkah Suminta meninggalkan rumah menyembunyikan air matanya, membawa tas pakaiannya. Meninggalkan suara Mini yang terjatuh mencegah kepergian Suminta, meratap menyeru, "Kakaaaaaak....!"

Demikianlah selalu adegan akhir dari lakon "Sayang Ada Orang Lain" karya Utuy Tatang Sontani yang dimainkan 7 kelompok teater dalam ajang Festival Teater Remaja se-Jawa Barat di GK Sunan Ambu STSI Bandung, sejak 28 Juli-2 Agustus 2008. Satu adegan yang selalu berurai air mata. Peristiwa perpisahan Suminta dan Mini, di situ senantiasa hadir dalam pelukisan suasana yang melodramatik mirip suasana dalam banyak sinetron di televisi dan melulu sebagai perpisahan itu sendiri, ketimbang mengelebatkan kesadaran ihwal mengapa Suminta memilih pergi dan hubungangannya dengan hadirnya orang lain (Wak Haji, Hamid, dan Lelaki Bermata Srigala) bersama seluruh kebenaran yang mereka jejalkan.

Tampaknya, apa yang menjadi tekanan Utuy lewat naskah lakonnya yakni kegelisahan dan kesadaran tentang manusia sebagai makhluk individu, tidaklah menjadi sesuatu yang penting. Yang melulu tertangkap adalah narasi tentang seorang istri yang menjual dirinya demi menolong rumah tangganya dari kemiskinan dan diketahui oleh suaminya yang lantas memilih pergi.

Puncak dari tragedi rumah-tangga itu adalah perpisahan yang penuh dengan isak tangis dan dibuat sedramatis mungkin. Dari mulai Suminta yang pergi dan Mini yang memanggil dalam tangis mengharukan, menghentikan langkah Suminta dalam pause sedang tangan Mini sedang menggapainya, hingga yang melengkapinya dengan lagu Darso, "Ulah Ceurik".

Tapi, tak apa. Justru inilah satu dari banyak hal menarik yang diperlihatkan 14 kelompok teater dari sejumlah SMA/sederajat mengikuti festival langka ini. Menarik dalam pengertian konteks hubungan antara panggung teater dan "kepolosan" anak-anak muda belasan tahun, namun yang seraya itu diam-diam juga menjanjikan semacam spirit bagi perkembangan teater modern Indonesia ke depan, paling tidak di Bandung.

Festival ini diadakan Keluarga Mahasiswa Teater STSI Bandung. Satu festival yang menjadi penting, di tengah kelangkaan para remaja termediasikan keberadaannya di panggung teater dalam satu peristiwa bernama festival, setelah selama ini banyak penggiat teater di Bandung, termasuk institusi pendidikan, melulu hanya menggerutu melihat kegandrungan anak-anak muda itu pada seni-seni industri dalam budaya massa yang memuja popularitas dan menjadi idola.

**

MESKI festival yang diikuti kelompok-kelompok teater dari Garut, Tasikmalaya, Ciamis, Subang, Cirebon, Cimahi, Baleendah, dan Bandung ini telah memilih Teater Citra SMAN 3 Subang sebagai Pertunjukan Terbaik, namun tampaknya bukan itu benar dan terpenting, termasuk terpilihnya aktor, aktris, sutradara, penata musik, serta artistik terbaik. Melainkan bagaimana festival ini mengusung semacam indikasi yang mungkin bisa menjadi awal pembacaan terhadap fenomena perkembangan teater berikutnya.

Festival ini menyediakan lima naskah lakon sebagai pilihan, "Sayang Ada Orang Lain" (Utuy Tatang Sontani), "Ben Go Tun" (Saini K.M.), "Kisah Cinta dan Lain-lain" (Arifien C. Noer), Malam Jahanam ("Motinggo Busye), "Wanita yang Diselamatkan" (Athur S. Nalan). Kelima naskah ini sangatlah sulit menyebutnya sebagai naskah remaja. Paling tidak dibanding "Graffito" karya Akhudiat, misalnya, kelima naskah dalam festival ini secara tematik sangatlah berjarak dengan alam anak remaja. Bahkan mungkin terbilang "berat", sebutlah, "Sayang Ada Orang Lain" yang menyimpan konflik dan ketegangan-ketegangan manusia di ruang kesadaran individualnya, ketimbang menekan pada konflik rumah tangga dan kisah cinta Suminta dan Mini.

Tapi, justru naskah inilah yang paling banyak dipilih. Ada tujuh kelompok teater yang memainkannya dan nyaris seluruhnya menekan pada style pertunjukan yang sama, yakni melodrama yang penuh air mata. Pilihan pada lakon ini bersebab pada konflik yang dibayangkan, romantisme kemiskinan, cinta yang dikhianati, dan perpisahan. Konflik yang mirip-mirip cerita sinetron. Agaknya inilah yang menjadi alasan mengapa naskah Utuy itu banyak dipilih ketimbang "Kisah Cinta dan Lain-lain" yang lebih jelas konflik dan esensinya.

Di lain sisi, festival ini juga memperlihatkan bagaimana secara kualitas kelompok-kelompok teater dari berbagai daerah terasa lebih baik penyajiannya. Baik secara pertunjukan, penyutradaraan, hingga skill para aktornya. Tak hanya itu, antusiasme para remaja dari berbagai daerah pun, terasa sangat berbeda dengan remaja tuan rumah meski mereka mengerahkan penonton sebagai supporter.

Apa yang diperlihatkan oleh kelompok-kelompok teater daerah dalam festival ini, mengapungkan sejumlah pemikiran ihwal fenomena perkembangan teater di berbagai daerah, yang tampaknya lebih semarak seperti juga terasa dalam Festival Drama Basa Sunda yang setiap dua tahun sekali diselenggarakan Teater Sunda Kiwari. Fenomena ini seolah tengah menguji "kebenaran" dari asumsi bahwa teater adalah kesenian kota.

Sepanjang festival, banyak kejutan tak terduga yang diperlihatkan para remaja di panggung teater. Termasuk bagaimana penyiasatan yang mereka lakukan ketika kelompok teater mereka mengalami krisis "jenis kelamin". Dengan "berani" misalnya, mereka mengubah tokoh lelaki dalam naskah menjadi perempuan. Tokoh Hamid dalam "Sayang Ada Orang Lain" tiba-tiba saja jadi perempuan yang bernama Hamidah. Begitu juga tokoh Tuan dan Otong dalam "Kisah Cinta dan Lain-lain" yang dimainkan perempuan. Belum lagi kejadian-kejadian tak terduga di atas panggung, yang mengundang senyum dan tawa penonton.

Namun demikian, festival ini bukan tidak menjanjikan sejumlah potensi yang bisa diharapkan pada masa mendatang terutama dalam keaktoran, meski tentu saja terlalu pagi untuk melihatnya dari parameter yang terlalu jauh. Seandainya festival ini menyediakan naskah-naskah lakon yang memang secara tematik remaja, atau dekat dengan dunia mereka, bukan tidak mungkin para remaja itu akan lebih leluasa mengeksplorasi potensinya di panggung teater.

Festival ini pada akhirnya seolah hendak menjadi satu tradisi. Dan memang begitulah semestinya. Apalagi festival ini diselenggarakan di salah satu instusi seni seperti Jurusan Teater STSI Bandung. Apa dan bagaimanapun, kelanjutan festival ini bukan hanya menjadi tanggung jawab Keluarga Mahasiswa Teater, tetapi lebih dari itu, menjadi kewajiban dari Jurusan Teater STSI. (Ahda Imran) ***

Tidak ada komentar: